New

Selasa, 18 Januari 2011

Ada Yang Tau Kalau Letusan Gunung Tambora 10.000 Lebih Dahsyat Dari Krakatau

"Tahun tanpa musim panas". Itulah yang terjadi ketika pada suatu Senin, 10 April 1815, Gunung Tambora di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, meluncurkan materi piroklastik. Batuan piroklastik berdiameter 2-15 cm terlontar hingga sejauh 40 kilometer.

Letusan berlangsung delapan hari, 5 April-12 April, dengan puncaknya pada 10 April, memuntahkan 150 miliar meter kubik material piroklastik.

Yang tersisa sesudahnya adalah 92.000 orang ditemukan tewas dan sekitar 80.000 orang tetap hidup, Kerajaan Pekat dan Kerajaan Tambora di Pulau Sumbawa lenyap terkubur, serta suhu bumi turun lebih dari dua derajat celsius (sekitar 5 derajat Fahrenheit). Salju turun pada Juni di Quebec City, Kanada, tanaman pangan di berbagai belahan dunia gagal panen. Sejarawan John Post menyebutnya, ”krisis besar terakhir di dunia Barat”.

Dari buku Bernice de Jong Boers, Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath, suara letusan terdengar hingga di Pulau Bangka (jauhnya sekitar 1.500 km), Bengkulu (1.775 km), dan langit di atas Madura (500 km) gelap selama tiga hari. Puncak Gunung Tambora terpotong 1.400 meter tingginya sehingga tinggal 2.800 meter.

Syair Kerajaan Bima menuliskan bencana kapoliptik tersebut:

"Bunyi bahananya sangat berjabuh/Ditempuh air timba habu/Berteriak memanggil anak dan ibu/Disangkanya dunia menjadi kelabu".

Itulah letusan terdahsyat dalam sejarah modern manusia. Kekuatannya mencapai sekitar Volcanic Explosivity Index (VEI) 7 dari maksimal VEI 8. Indeks ini analog dengan magnitudo pada gempa bumi yang dinyatakan dengan skala Richter.




Peneliti dari Puslitbang Arkeologi Nasional Kemenbudpar, Sonny Wibisono, mengatakan letusan Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat satu abad lalu lebih dahsyat dari letusan Merapi karena Tambora mampu menghilangkan peradaban tiga kerajaan di wilayah itu. "Tambora merupakan sebuah peristiwa alam letusan vulkanis yang terjadi lebih dari 150 tahun lalu, tepatnya pada 1815," kata Sonny Wibisono di Jakarta, Selasa.

Ia telah meneliti dampak letusan Tambora yang berdampak pada musnahnya peradaban termasuk tiga kerajaan yaitu Tambora, Pekat, dan Sanggar yang sempat berkembang di wilayah Bima, Nusa Tenggara Barat. Ledakan terhebat Tambora terjadi pada 1815 menewaskan 92.000 orang dan abu vulkanik yang dilepaskan terlempar hingga lapisan stratosfer udara.

"Akibat dari letusan itu masih bisa dirasakan sepanjang 1816 seperti perubahan iklim, tsunami kecil, dan hujan abu vulkanik," katanya. Volcanic Explosivity Index (VEI) Tambora dibandingkan 12 letusan gunung terdahsyat yang terjadi di permukaan bumi ini sejak ratusan tahun lalu adalah yang kedua terbesar dengan nilai indeks 7 setelah Toba yang memiliki nilai VEI 8.

Namun dari sisi intensitas, letusan Tambora pada 1815 tercatat sebagai letusan paling kolosal. "Akibat letusannya menyisakan sebuah kaldera yang ada sampai saat ini," katanya. Penelitian tersebut difokuskan untuk merekonstruksi fase-fase letusan Tambora sekaligus membuktikan adanya peradaban pada lapisan terbawah yang merupakan permukaan tanah lama.

Jejak peradaban itu diungkap melalui beberapa aspek seperti bentuk permukiman, konstruksi rumah, arah hadap rumah, dan peralatan keseharian masyarakat pada masanya. "Ada beberapa keramik asal China yang ditemukan, ini membuktikan ada kontak budaya masyarakat setempat dengan kebudayaan asing khususnya China," katanya.

Penelitian arkeologi yang dilakukan di lereng barat Tambora itu diarahkan untuk mendapatkan gambaran cara-cara hidup melalui aneka ragam peninggalan arkeologi yang ditinggalkan dan menelusuri bukti-bukti yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan rentang kronologi dari pemukiman dan kerajaan-kerajaan itu. "Penelitian ini juga bertujuan untuk kepentingan konservasi," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar